Sunday, July 12, 2020

Seminar - bayang bayang baur


Seminar itu bertemakan kemanusiaan dan alam semesta. Saya menjadi pembicara terakhir sebelum diskusi. Semua berjalan lancar. Hanya ada sedikit ganjalan bagi saya. Salah satu pembicara setiap berapa slide selalu mengawali kalimat dengan kata kata … Saya ini. Saya sedikit terganggu konsentrasi, pikiran saya terseret meneruskan kata kata itu… Saya ini si gembala sapi. Lagu lama tahun lima puluhan yang dinyanyikan oleh Anneke Gronloh. Ruang seminar tertata rapi, mewah, terletak di lantai dua gedung yang megah. Peserta kira kira tujuh puluh orang, tokoh tokoh lintas disiplin.

Diskusi juga berjalan sangat menarik. Yang dibahas bukan masalah tetek bengek keseharian. Tetapi menyangkut kehidupan ke depan dan alam semesta. Tanpa sadar semua isi saku celana dan baju saya keluarkan. Rasanya berat, berdiskusi dengan saku terbebani dompet, vulpen. Bebas berdiskusi rasanya. Tepuk tangan membahana ketika Ketua penyelenggara menutup seminar setelah menyampaikan rangkumannya. Seorang guru besar putri yang namanya malang melintang di dunia akademik. 

Saya mengantar ke bawah pembicara yang selalu bilang “Saya ini’, kata kata itu ternyata telah menyeret saya. Padahal saya tidak kenal sebelumnya dengan tokoh ini. Bercelana hitam, berbaju putih dengan dasi kupu kupu. Lupa Tanya namanya. Dia telah ditunggu sopir, mobil Mercedez S Class Ava Garde. Setelah mobil itu pergi, tiba tiba mobil saya sudah berhenti di depan saya. Langsung naik ingin cepat pulang. Beberapa saat baru terasa, saku celana saya kosong, ringan sekali.  Sadar kalau dompet saya masih tertinggal di meja pembicara tadi. Saya minta sopir balik lagi ke gedung pertemuan. Dia masih tilpon, tidak tahu dengan siapa. Hanya menjawab, gedung pertemuan sudah tutup. Biar saja, kita kembali ke sana.

Sampai di gedung pertemuan, saya langsung naik ke lantai dua. Ruang pertemuan sudah ditutup. Ada petugas kebersihan, saya minta tolong dibukakan. Meja meja sudah ditumpuk. Korden warna oranye sudah ditutup. Ruangan tidak terang benderang. Dompet dan vulpen saya tidak ada di sana. Tidak panik. Pasti sudah disimpan oleh petugas yang memberesi ruangan. Saya bergegas turun ke bawah, ke ruang security. Ada dua orang wanita di sana. Nampak relaks. Saya lapor barusan ketinggalan dompet di ruang seminar lantai dua. Kepala keamanan wanita umur 40an ini memerintahkan temannya untuk melakukan pengecekan. Si temannya kemudian keluar dan kepala keamanan tersebut menyanyi pelan di depan saya. Rok bawahnya kotak kotak kombinasi warna merah dan hitam, blus nya warna abu abu. Tetapi topinya kok seperti topi polisi lalu lintas. Sejenak temannya datang membawa kotak yang ditali pita merah. Ketika dia membuka kotak itu, ada catatan bahwa dompet saya sudah dikirim ke gedung paling depan di kampus.

Ibu kepala keamanan itu memberi kode agar saya mengikuti dia. Kami turun ke lantai dasar, tempat parkir. Ada motor besar di sana, merk BSA. Dia minta saya mbonceng. Motornya terkesan agak panjang, dan ada tempat pegangan tangan di boncengan. Berjalan pelan menyusur jalan kampus. Ibu itu tidak banyak bicara. Sudah beberapa saat masih berputar putar. Saya bertanya, kemana kita pergi ambil dompet saya ? Tiba tiba membelokkan motornya ke satu gedung megah. Pintu utamanya diatas, ada jalan menanjak ke atas langsung ke pintu utama. Dia memberi kode agar saya turun dan menemui petugas yang ditugasi mengambil barang barang saya. Di ujung koridor nampak petugas keamanan yang disuruh ambil tadi sudah berdiri di sana bersama seorang temannya  petugas wanita memakai topi. Nampak mereka membawa barang saya, tas cangklong saya. Pasti dompet itu di sana. 

Tas itu ditinggal di sana, sementara mereka bergegas naik motor bertiga. Kepala Petugas Keamanan melambaikan tangan.  Saya mencoba berteriak keras terima kasih.  Terbangun tiba tiba dari mimpi pagi hari. Ah hanya mimpi saja. 




Kapiten Toro


Sore hari yang sejuk tahun 1959. Saya bersama beberapa teman tetangga duduk duduk di jembatan ini. Kami berempat sama Jumadi, Kamto dan adik saya Gondo. Duduk duduk di jembatan bambu. Melihat kendaraan lewat antara Ambarawa Magelang. Desa kami Ngampin hanya dua kilometer dari Ambarawa. Disebelah Timur pekarangan ada gereja, sore sore seperti itu biasanya ada kebaktian Tidak enak duduk duduk di sana. Tidak bebas berteriak atau bicara keras.

Mungkin menjelang jam lima sore. Tiba tiba ada dua pengendara udug besar berhenti dari arah Magelang. Sang pengendara berbaju putih dibawah jaket kulit dan bertopi, menggerutu... Sial!. Rupanya ada yg tidak beres pada mesin sepeda motornya. Udhug besar merk BSA. Temannya juga berbaju putih, agak tinggi badannya, naik Harley bilang... tenang saja kita perbaiki. Mereka berdua memperbaiki udhug BSA itu. Rupanya agak kesulitan, kunci tidak lengkap.

Tiba tiba seorang pengendara lain berhenti dari arah Magelang. Merk juga sama BSA ttp nampak lebih baru. Ada apa pak ? Bapak mau kemana. Sang pengendara masih lebih muda menyapa ramah. Dari Yogya mau pulang Semarang. Mesin rewel, kunci tdk lengkap.
Mari saya bantu pak. Pengendara muda ini nampak lebih cekatan. Beberapa saat langsung bisa disarter lagi BSA yang macet itu.

Masih jam lima istirahat dulu. Hawanya sejuk. Dik tulung golekke degan ijo 3 ya. Dia bilang ke saya. Saya iyakan tetapi saya tidak bisa panjat pohon kelapa. Akhirnya seorang tetangga yg nonton disuruh panjat pohon kelapa. Dia ambil 5 kelapa muda warna hijau. Sekalian disuruh buka. Pengendara itu kemudian tanya, habis berapa? Saya bilang gak usah bayar ttp tolong yang ambil tadi dikasih upah. Dikasih lima rupiah. Dia mengeluh. Wah kurang ini pak. Kelapanya yg lain pada gagal tua kalau ada yg diambil degannya. Mosok ? Bapak pengendara itu terbelalak. Satu tetangga saya yang lain bilang, nggak pak tidak apa apa. Dan yang punya pohon kelapa itu masnya ini, sambil nunjuk saya. Dancuk kowe ya, sang pengendara BSA menghardik pemanjat itu.. Terima kasih banyak ya dik. Bilang sama Bapak nanti di rumah. Sapaan ramah ke saya sebelum ngobrol sama temannya.

Kami hanya mendengar kan saja. Pengendara yg datang kemudian ternyata dari Magelang mau pulang ke Semarang. Dia bertanya, bapak bapak tugas dimana ? Kami berdua dari Divisi Diponegoro Kenal sama boss saya pak, sering ke markas besar juga dan pakai HD, pak Hamid. Wah kenal lah. Nama saya Toro, kapten Toro. Mereka sama sama menstart motor gedenya. Lancar semua. Pengendara muda itu pamit mendahului. Saya berangkat duluan. Jam tujuh ada janji dengan pak Hamid. Salam untuk pak Hamid, dari kapiten Toro. Pengendara muda langsung melesat dan suara mesin menggelegar. Kapten Toro dan temannya berangkat pelan. Melambaikan tangan ke saya.

Tidak tahu sampai sekarang saya masih terkesan penampilan kapiten Toro. Berwibawa tenang tdk banyak bicara. Naik motor gede juga tidak tergesa gesa, tidak gecacalan. Nampak sangat percaya diri dan cekatan.

Mandor saya saat ini di perumahan Ngampin Griya Permai namanya juga Toro, umur dan perawakan hampir seperti kapiten Toro. Tidak se ngganteng kapiten Toro. Jika di kasih instruksi selalu bilang ya ya ya. Tetapi harus diulangi instruksi berkali kali. Jarang sekali instruksi langsung dikerjakan. Ya memang dia mandor Toro bukan kapiten Toro yang saya kagumi. Agak ndableg.

Salam hormat untuk kapiten Toro. Tidak tahu beliau dimana. Apa masih ada oleh karena tahun 59 itu kira kira umurnya sudah pertengahan tiga puluhan.
Yogyakarta, 29 Juni 2020.

https://www.facebook.com/ki.a.similikithi/posts/10158692590369940